Jakrta,SPNKOmplainMedia – Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah genap setahun sejak disahkan dalam sidang paripurna di DPR pada 5 Oktober 2020 silam. Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan beleid yang diteken Presiden Jokowi 2 November 2020 itu diklaim pemerintah mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan menghilangkan hambatan-hambatan tumpang tindih regulasi, dan mempercepat/meningkatkan investasi.
“Tapi buktinya hak-hak dasar masyarakat malah digerogoti setelah UU Cipta Kerja terbit. UU Cipta Kerja justru menjadi pelengkap derita rakyat di tengah pandemi Covid-19,” kata Arif Maulana ketika dikonfirmasi, Rabu (6/10/2021).
Arif mencatat sedikitnya 3 hal yang menunjukkan UU Cipta Kerja justru memperburuk kondisi perlindungan hukum dan kesejahteraan rakyat. Pertama, UU Cipta Kerja menciptakan ketidakadilan ruang dan rakyat kehilangan kedaulatan atas ruang hidupnya. Pengaturan Pasal 17 dan Pasal 18 UU Cipta Kerja serta PP No.21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, telah mengubah perspektif penyusunan tata ruang menjadi top down dengan kewenangan terpusat di pemerintah pusat. Misalnya, rencana tata ruang wilayah (RTRW) di daerah wajib menyesuaikan RTRW level nasional.
Pengaturan kewajiban partisipasi masyarakat dalam penyusunan zonasi serta prinsip fungsi sosial dan lingkungan pemanfaatan ruang pesisir yang sebelumnya diatur dalam UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dihapus dan diganti dengan pengaturan yang bersifat pengusahaan ruang. Pengaturan zonasi juga tidak menetapkan syarat rencana strategis dan kajian lingkungan hidup strategis, seperti ketentuan sebelumnya.
UU Cipta Kerja mengubah ketentuan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup membatasi ketentuan partisipasi masyarakat untuk merumuskan Amdal dan menghapus izin lingkungan sebagai syarat perizinan berusaha. “Ketentuan semacam ini jelas menguntungkan kepentingan investor, tapi benar-benar menghilangkan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat tradisional yang tinggal di pesisir dan pulau kecil,” ujar Arif.
Arif memberi contoh salah satu kelompok masyarakat yang dirugikan oleh UU Cipta Kerja yakni masyarakat Pulau Pari di Kepulauan Seribu. Dengan ditetapkannya Kepulauan Seribu sebagai kawasan strategis pariwisata nasional, Pulau Pari ditetapkan sebagai kawasan industri wisata sebagaimana tertuang dalam Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) di DKI Jakarta yang saat ini masih dibahas dengan merujuk UU Cipta Kerja.
Dia melihat pengaturan itu mengancam keberadaan masyarakat Pulau Pari yang telah menetap secara turun-temurun. Aktivitas warga Pulau Pari yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dipaksa menyesuaikan dan tidak boleh mengganggu aktivitas industri pariwisata di zona tersebut. Persoalan yang sama juga dialami komunitas nelayan tradisional di Muara Angke yang terimbas pembatasan ruang pemukiman nelayan dan absennya perlindungan zona wilayah tangkap nelayan dari aktivitas pertambangan hingga proyek reklamasi.
UU Cipta Kerja ini dinilai inkonstitusional baik dalam prosedur penyusunan maupun substansi pengaturannya yang mengakibatkan kondisi perlindungan hukum dan kesejahteraan semakin buruk.
Selain masalah zonasi, Arif melihat masyarakat Pulau Pari juga terancam penghidupannya dengan rencana pembangunan pulau komersil di wilayah tangkap nelayan tradisional. UU Cipta Kerja membatasi partisipasi masyarakat serta upaya keberatan terhadap Amdal yang disusun pengembang, sehingga menyulitkan warga mempertahankan ruang penghidupannya dari kepentingan investasi.
Masalah itu juga terjadi di wilayah daratan. Ditetapkannya berbagai proyek pembangunan infrastruktur sebagai proyek strategis nasional memunculkan berbagai imbas pengusiran paksa (penggusuran) dengan dalih kepentingan umum. Pasal 123 UU Cipta Kerja dan PP No.19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum merevisi ketentuan UU No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
“Beberapa ketentuan bersifat percepatan pembebasan tanah dan memudahkan instansi yang membutuhkan tanah. Namun di satu sisi mempersempit ruang gerak masyarakat terdampak untuk mempertahankan ruang ataupun sekedar menuntut kompensasi yang layak,” bebernya.
Kedua, UU Cipta Kerja memperburuk perlindungan hak-hak pekerja/buruh. Arif mencatat berbagai ketentuan yang memberi kemudahan kepada investor tidak dibarengi dengan perbaikan perlindungan hak buruh/pekerja. UU Cipta Kerja justru melepaskan tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan terhadap buruh dalam upaya menciptakan kedudukan yang setara dengan pengusaha.
Pelepasan tanggung jawab tersebut tercermin dari ketentuan Pasal 81 UU Cipta Kerja dan Pasal 25 PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang mengubah acuan penetapan upah minimum. Sebelumnya, penetapan upah minimum berdasarkan KHL dan produktivitas/pertumbuhan ekonomi, tapi sekarang berdasarkan pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi. Kondisi ekonomi itu meliputi paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.
“Problem dari pengaturan itu muncul saat ini ketika berbagai Konfederasi Serikat Buruh menuntut kenaikan upah minimum tahun 2022 sebesar 10 persen dan mengabaikan ketentuan UU Cipta Kerja,” ujar Arif.
Selain itu, PP No.35 Tahun 2021 tentang PKWT-PHK menciptakan fleksibilitas aturan kerja yang eksploitatif. Misalnya, sistem kerja kontrak yang tidak memberikan jaminan atas pekerjaan yang layak, alih daya, dan waktu kerja lembur yang diperpanjang.
Ketiga, UU Cipta Kerja memperburuk kondisi kesejahteraan rakyat selama pandemi Covid-19. Arif menegaskan rakyat dalam hal ini bukan pengusaha atau investor, tapi kelompok masyarakat marjinal seperti buruh, nelayan, dan miskin kota. Pengaturan ruang yang tidak adil berpotensi menghilangkan sumber penghidupan masyarakat miskin serta menciptakan kemiskinan struktural.
Mengutip laporan organisasi buruh internasional (ILO) dalam Global Wage Report 2020-2021 bertajuk “Wages and Minimum Wages in the Time of Covid-19” mencatat di tengah krisis ekonomi akibat Covid-19, upah minimum yang layak berperan penting untuk menahan masyarakat agar tidak jatuh ke jurang kemiskinan. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS Februari 2021 menunjukan mayoritas angkatan kerja di Indonesia merupakan pekerja/buruh dan sebanyak 49,67 persen dari pekerja masih digaji di bawah upah minimum.
Data BPS menunjukkan per Maret 2021 terjadi peningkatan angka kemiskinan selama pandemi Covid-19, dari Maret 2020 sebesar 26,42 juta menjadi 27,54 juta atau lebih dari 10%. Peningkatan kemiskinan selama pandemi Covid-19 ini, menurut Arif tak lantas disebabkan oleh UU Cipta Kerja, tapi hilangnya berbagai jaminan rakyat atas penghidupan layak yang memperburuk tingkat kesejahteraan rakyat selama pandemi Covid-19 dan secara jangka panjang berpotensi menyebabkan kemiskinan struktural.
“Mantra bahwa kesejahteraan rakyat akan hadir ketika lapangan kerja banyak terbuka akibat investasi yang sangat mudah tanpa hambatan hukum hanyalah pengulangan teori pembangunan orde baru (Trickle down effect) yang gagal dan hanya menciptakan jurang ketimpangan ekonomi dan sosial yang semakin lebar,” kritiknya.
Arif berpendapat jika Presiden Jokowi konsisten menjalankan amanat UUD NRI 1945 dan menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan atau oligarki, maka UU Cipta Kerja seharusnya dicabut lewat eksekutif review. “Dengan cara menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) karena UU Cipta Kerja ini inkonstitusional baik dalam prosedur penyusunan maupun substansi pengaturan,” tegasnya.
Sebelumnya, Dirjen Tata Ruang Kementerian ATR/BPN, Abdul Kamarzuki, mengatakan tata ruang sangat penting sebagai acuan dalam menerbitkan perizinan berusaha. U Cipta Kerja dan peraturan turunannya, seperti PP No.21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, diharapkan membenahi kerumitan proses perizinan selama ini yang mengakibatkan tumpang tindih di lapangan.
“Dengan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya diharapkan kemudahan perizinan bisa terwujud dan berlanjut agar izin yang terbit tidak tumpang tindih,” kata Abdul Kamarzuki dalam diskusi secara daring bertema “Reformasi Perizinan Tata Ruang dan Perizinan Lingkungan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha yang Berkelanjutan”, Sabtu (2/10/2021).
Dia mengutip Pasal 6 UU Cipta Kerja yang mengatur peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha meliputi 4 hal. Pertama, penerapan perizinan berbasis risiko. Kedua, penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha. Ketiga, penyederhanaan perizinan berusaha sektor. Keempat, penyederhanaan persyaratan investasi. Untuk penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha meliputi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR); Persetujuan Lingkungan; dan Persetujuan Bangunan Gedung.
Abdul mengatakan perizinan berusaha terutama tata ruang, KKPR menjadi acuan. Misalnya untuk pemanfaatan ruang dan penerbitan hak atas tanah. KKPR juga sebagai syarat mendapatkan izin di sektor lain, seperti perizinan (persetujuan) lingkungan. Dengan memanfaatkan teknologi, pelaku usaha bisa memproses KKPR dengan mudah karena dilakukan secara daring melalui laman Online Single Submission (OSS).
“Waktu penerbitan juga cukup singkat untuk konfirmasi KKPR dibutuhkan 1 hari kerja dan persetujuan KKPR 20 hari kerja, jika dibandingkan dengan berbagai produk tata ruang lainnya sebelum terbit UU Cipta Kerja,” kata dia.
Dia menerangkan UU Cipta Kerja mengatur KKPR diberikan sebagai kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usaha dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Untuk pemerintah daerah yang sudah memiliki RDTR, maka KKPR diberikan melalui konfirmasi. Bagi pemerintah daerah yang belum memiliki RDTR, KKPR diberikan melalui persetujuan dengan asas berjenjang dan komplementer berdasarkan, antara lain RTRW Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.(SKM)
Sumber Hukumonline