Jakarta,SPNKomplainMedia- Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang judicial review UU Cipta Kerja dengan memeriksa tiga orang saksi. MK mencecar proses pembuatan UU Cipta Kerja, dari proses rapat focus group discussion (FGD) hingga keberadaan naskah akademik (NA) RUU.
Tiga orang saksi itu adalah perwakilan pemerintah Nasrudin, Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional Kemenkumham Joko Puji Raharjo, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (FH Unnes) Rodiyah.
“Metode omnibus law itu yang akan dijadikan wadah atau rujukannya dari mana? Apakah juga dari negara lain? Di FGD atau pembahasan lain ada dibahas? Metode omnibus law rujukannya dari mana?” tanya hakim konstitusi Suhartoyo dalam sidang yang disiarkan di channel YouTube MK, Kamis (23/9/2021).
Sementara itu, hakim konstitusi Saldi Isra mempertajam pertanyaan kepada saksi Rodiyah. Selaku dekan dan akademisi, Rodiyah hadir dalam FGD RUU omnibus law di Solo pada 26 Januari 2020.
“Ketika Ibu hadir, ketika itu, pernah tidak diperlihatkan ada naskah akademik atau rancangan awal RUU, atau sekadar jual-beli gagasan?” tanya Saldi.
“Pada FGD tidak memperlihatkan naskah akademik dan draf UU secara lengkap,” jawab Rodiyah.
“Yang tidak lengkap diperlihatkan?” cecar Saldi, yang juga guru besar Universitas Andalas, Padang, itu.
“Izin, saya tidak melihatnya, Yang Mulia,” jawab Rodiyah.
“Izin, saya tidak melihatnya, Yang Mulia,” jawab Rodiyah.
“Apakah sudah ada naskah akademiknya?” tanya Saldi ke Joko.
“Saya mendengar,” jawab Joko.
“Melihat?” tanya Saldi meminta ketegasan.
“Tidak melihat. Belum ada,” jawab Joko.
Hakim konstitusi lainnya, Enny Nurbaningsih, juga menanyakan keganjilan atas proses RUU Cipta Kerja. Sebab, para saksi menyatakan RUU Cipta Kerja dibuat berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2011 tapi banyak prosedur yang tidak dilakukan oleh pemerintah sesuai UU Nomor 11/2011.
“Apakah ada perdebatan terkait dengan UU 12/2011, karena katanya dibuat berdasarkan UU Nomor 12/2011. Bagaimana penyebutan resminya?” kata Enny.
“Tidak mengubah substansi karena sama-sama menciptakan lapangan kerja,” kata Nasrudin.
“Bisa nggak kami diberi batasan soal clerical error, jadi kesalahan-kesalahan kecil itu. Bagaimana kalau perbaikan itu mengubah makna. Salah satu hukum secara tekstual, salah meletakkan koma saja, bisa mengubah makna. Apakah perubahan-perubahan kecil seperti itu masih dikategorikan clerical error,” kata hakim konstitusi Saldi Isra dalam sidang di MK yang disiarkan channel YouTube MK, Kamis (9/9/2021).
“Bagaimana kalau dilakukan perubahan frasa yang konsekuensinya sangat serius. Soal ‘diatur dengan’ atau ‘dengan’ segala macamnya itu. Apakah itu bisa dikategorikan clerical error juga?” sambung Saldi Isra.